SELAMAT NATAAAAAALLLLLLLLLLLLLLLL !!!!!!!!
wish you all the best guys .
God bless you always . :D
kali ini aku mau ngepost cerpenku 2 taun kepungkur. rada gaje sih, tapi daripada nganggur di facebook tak post aja.
padahal di blog juga ga ada yang baca. #ngenes
enjoy guys..
^^
***
“AAAARRRGGGHHH !!!!”
Terdengar suara teriakan seorang wanita dari sebelah ruang kamar tidurnya. Teriakan-teriakan itu pun kembali terdengar diselingi suara tamparan dan benda-benda berjatuhan. Suara-suara seperti itu sudah tak asing lagi di telinga Dewa. Yah.. itu adalah pertengkaran antar kedua orangtuanya. Dewa yang sedari tadi hanya diam memainkan gitarnya untuk mengurangi kebisingan akibat suara-suara tersebut mulai jenuh. Jam sudah menunjukkan pukul 21.15. ia menaruh gitarnya sebelum merebahkan tubuh di atas kasur empuknya, berusaha memejamkan mata. Namun apa daya, pertengkaran di kamar sebelah mengusik tidurnya. Dengan hati tak sabar lagi, ia segera mengambil jaket, ponsel dan kunci motornya. Ia keluar dan menutup pintu kamarnya dengan dobrakan keras. Kedua orangtuanya yang mendengar suara itu pun berhenti sejenak dan melihat ke sumber suara itu. Mereka melihat Dewa keluar rumah dan melesat pergi.
Dewa dan motornya CS One, yang diberi nama Cessa, hanya berkeliling memandang warna-warni lampu kota. Keindahan kota malam itu sedikit menenangkan pikirannya. Tiba-tiba terdengar suara keroncongan dari perutnya, ia baru teringat bahwa ternyata perutnya belum terisi malam ini.
Dewa pun segera melesat mencari warung makan yang masih buka. Cukup sulit memang karena mengingat bahwa sekarang sudah menunjukkan pukul 23.45. ternyata ia sudah berputar-putar kota selama labih dari 2 jam. Tak lama kemudian ia menemukan warung nasi goreng yang masih buka di dekat sebuah SMA tempat pacarnya yang bernama Jessy bersekolah. Sembari makan, ia lalu menekan nomor telepon pacar barunya itu. Setelah mendengar nada tunggu, lalu terdengarlah suara seorang gadis di seberang sana.
“Halo..” sapa gadis itu dengan suaranya yang masih serak-serak basah karena bangun tidur.
“Halo Sayang, kamu udah bobok ya?” balas Dewa.
“Ooh.. iya nih, Yang, kenapa emangnya? Tumben jam segini telfon.”
“Aku lagi makan nasgor nih, Yang, di deket sekolah kamu.”
“Hah?? Jam segini kok keluar-keluar sih kamu? Kenapa nggak makan di rumah aja?” terdengar nada cemas dalam suara Jessy.
“Tadi juga nggak niat mau keluar , Jess, tapi di rumah berisik, jadinya aku keluar aja daripada aku budek.” Jawab Dewa menenangkan hati Jessy.
“Ooh..”
Jessy yang baru mengenal Dewa selama 8 bulan tak perlu bertanya lagi apa maksud dari pernyataan Dewa barusan, karena meski baru 8 bulan Jessy telah mengetahui keadaan keluarga Dewa yang bangkrut saat ini. Itulah yang menyebabkan pertengkaran antar kedua orangtuanya akhir-akhir ini. Mereka pun terus mengobrol hingga akhirnya harus terhenti karena Dewa selesai makan dan membayar nasi goreng tersebut. Dewa mengambil motornya lalu berpamitan pada bapak penjual nasi goreng, dan menuju sebuah taman yang tak jauh dari warung tersebut. Sesampainya di sana ia duduk di sebuah bangku panjang yang terletak mengitari kolam di pinggiran taman. Ia merogoh kantong dan mengambil ponselnya, lalu menekan kembali nomor telepon kekasihnya.
Ketika mereka asyik mengobrol tiba-tiba Dewa melihat seorang anak kecil memakai sweater kuning berlari-lari di sekitar taman. Dewa pun memanggil anak itu.
“Dek!! Sini!!” teriak Dewa melambai pada anak itu.
Di seberang teleponnya, Jessy hanya terheran mendengar teriakan Dewa.
“Kamu ngomong sama siapa, Wa?” tanya Jessy.
“Ih, Jess, ada anak kecil nih di sini. Kok bisa ya? Bentar nih bentar, anaknya udah dateng.” jawab Dewa. Anak itu pun kini sudah duduk di sebelah Dewa.
“Dek, kamu siapa? Sama siapa ke sininya?”
“Saya Gilang, Mas. Saya sering kok tidur di sini.” Jawab anak itu.
“Lho? Kok tidur sini? Emangnya orangtuamu dimana?”
“Nggak tau.” Jawab Gilang tanpa menampakkan ekspresi apapun di wajah mungilnya.
“Nggak tau? Terus kamu tinggal bareng siapa di sini?”
“Sama temen-temen, tapi kadang-kadang juga ke tempat Pakde.” Jawab Gilang sembari memainkan helm milik Dewa.
“Hah?? Pakde?? Kamu punya Pakde? Terus sekarang Pakde dimana?” tanya Dewa bertubi-tubi.
“Pakde di rumah, Mas.”
“Kok kamu nggak tidur di tempat Pakde aja?”
Hening.. gilang tak menjawab pertanyaan Dewa. Ia hanya memainkan helm Dewa, sesekali memakainya, membuka-tutup kacanya, yah.. kurang lebih seperti itulah kiranya. Dewa yang melihat keasyikan Gilang mengalihkan perhatian ke seberang teleponnya
“Jess, are you still there?”
“Oh iya, aku masih di sini kok. Tanyain Gilang dong, apa dia sekolah gitu?”
Dewa pun beraluh ke Gilang.
“Dek, kamu sekolah nggak sih?” tanya Dewa.
Gilang menggeleng.
“Terus? Nggak pernah minta sekolah gitu sama Pakde?”
“Pernah, tapi Pakde malah bilang kalau aku mending ngamen aja. Biar dapet duit buat makan, jadi nggak nyusahin Pakde lagi.
“Ya Tuhan… berarti kamu sekarang jadi pengamen dong?”
“Iya, banyak temennya kok, Mas.”
“Emangnya Pakde kerja apa dek?”
“Pakde tu polisi, Mas.”
“Hah?? Polisi??” mata Dewa terbelalak mendengar jawaban Gilang.
“Gila ya,Jess. Aku nggak nyangka GIlang setegar itu. Pakdenya kan juga polisi, tega banget dia, Jess.” kata Dewa kepada Jessy. Gilang kini tengah tertidur pulas di pangkuan Dewa. Wajahnya yang bersih tak menyiratkan beban sedikitpun. Badannya terawatt, pakaiannya pun bersih, tak disangka bahwa ia ternyata seorang pengamen yang konon identik dengan pakaian kumal dan wajah kotor. Saat tertidur wajah Gilang sangatlah tampan, Dewa pun mulai mengira-ira bahwa orangtua Gilang adalah orang kaya.
“Iya, Wa. Aku aja nggak tega banget ngebayangin Gilang kayak gitu.”
“Padahal dia lucu banget lho, Jess. Dari mukanya aja aku bias tau banget kalo sebenernya dia tu pinter.”
“Masa sih? Aku jadi pengen ketemu deh, Wa.”
“Mm.. ya besok aja, Jess. Dia tadi udah naik-naik motorku gitu, seneng banget kayanya, dan mungkin kalo aku besok dateng lagi ke sini dia inget sama aku.”
“Oke.. ntar siang dah kita ke sana.”
“Oh iya ding ntar siang. Hoooooaaamhh…..” Dewa lalu menguap sangat lebar.
“Ngantuk, Wa? Kamu pulang aja sana, kasian Mama Papa kamu kalo nyariin.”
“Biarin ah, lagian kalo aku pulang kasian ntar Gilang nyariin aku. Papa Mama juga biar nenangin diri dulu.”
“Yaudah deh terserah kamu aja.”
“Jess..”
“Hm?”
“Ternyata aku masih lebih beruntung ya? Masih punya Mama Papa, masih bias makan enak, tidur di kasur empuk yang anget lagi. Aku nggak bersyukur, Jess sama yang aku punya sekarang. Padahal aku udah gede, beda banget sama Gilang , meski dia masih kecil tapi dia nggak ngeluh, tegar, aku kira cuman di sinetron-sinetron aja orang kayak dia. Tapi ini beneran, Jess. Aku salut sama dia. Dia nggak pernah benci Pakde sama orangtua yang udah nelantarin dia gitu aja, nggak kayak aku, Jess.” Dewa menitikkan air matanya. Jessy pun demikian sambil tersenyum haru.
“Mah, Pah, Dewa minta maaf ya. Dewa nggak bermaksud buat kayak gitu semalem. Terus….” Dewa berlutut di pangkuan Mama dan Papanya setelah pagi menjelang dan ia kembali ke rumah.
“Sssstt…” Mama memotong perkataan Dewa.
“Nggak apa-apa, Sayang, Mama Papa juga minta maaf ya, gara-gara kami kamu jadi..”
“Udah, Pa, nggak usah dibahas lagi, kita mulai semuanya dari awal. Dewa juga udah bias terima kok keadaan kita sekarang. Ternyata masih ada orang yang lebih menderita daripada kita.”
Mama, Papa, dan Dewa pun kini tersenyum bahagia.
“Mana sih, Wa? Katanya dia suka ngamen di daerah sini?”
“Bentar lah tungguin aja. Es campurnya dimakan dulu gih!” balas Dewa. Sore itu Dewa dan Jessy berada di sebuah warung es campur, tempat Gilang dan teman-temannya biasa mengamen. Dewa tahu dari Gilang bahwa ia dan teman-temannya sering mengamen di sepanjang jalan tersebut, yang dipenuhi oleh berbagai warung makanan setiap sore.
“Syukuri apa yang ada..
Hidup adalah anugerah…
Tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik..
Tuhan pasti kan menunjukkan,
Kebesaran dan kuasa-Nya..
Bagi hamba-Nya yang sabar dan tak kenal putus asa..
Jangan menyerah..
jangan menyerah..
jangan menyerah..”
Sayup-sayup terdengar suara anak-anak jalanan yang sedang mengamen, suara tersebut berasal dari arah seberang tempat Dewa dan Jessy menunggu. Di kerumunan anak-anak jalanan tersebut Dewa mengenali Gilang sebagai salah satu diantaranya, senyum pun merekah di bibir Dewa. Jessy yang mendengar Dewa berteriak dan melambai pada seorang anak pun segera tahu bahwa yang dilihatnya adalah Gilang, seketika Gilang pun berlari menghampiri mereka, ia memakai jaket yang semalam dipinjamkan Dewa padanya, dengan membawa alat ngamen ‘icik-icik’ di tangan kirinya. Dengan senyum merekah ia berjalan menuju Dewa yang masih tetap melambai padanya.
“BRRRAAAAKK !!!!!!!”
“GIIIILAAAAAANG !!!!!!”
Raut muka Dewa seketika berubah tatkala mobil bak terbuka itu melaju kencang menabrak tubuh kecil yang tersenyum padanya. Tubuh kecil itu kini terkulai lemas berselimut darah. Dewa berlari menuju sosok tersebut, Jessy mengikutinya dari belakang. Dewa histeris saat wajah malaikat mungil itu berada di pangkuannya. Malaikat bersimbah darah itu Gilang. Ya itu Gilang. Bocah kecil itu kini ada di pangkuan Dewa. Matanya terpejam, darah segar mengalir di setiap lekuk tubuhnya, tangan kirinya yang memegang ‘icik-icik’ tergulai di aspal jalanan. Bibirnya tersenyum, raut wajahnya pun damai. Sama seperti 12 jam yang lalu saat Gilang tidur di pangkuannya, namun sekarang, ia tak lagi menghembuskan nafas hangatnya. Tiba-tiba gerimis pun mulai turun membasahi jalanan itu, padahal matahari masih senantiasa menampakkan kehangatan sinarnya. Tak sadar bahwa ternyata semburat warna indah pelangi melengkung di atas sana, mengiringi kepergian Gilang.
Tidak ada lagi yang dapat ku katakan
Di sini ku hadir bersama mimpi
Diam seribu kata
Meratap bayang pelangi
Saat siang terang
Ku sadar di luar sana
Hujan gerimis di siang hari
Di dalam kasih tersimpan tangis
Di dalam kepiluan ada sayang
Biarkan ku mengapai bayang pelangi
melihatnya walau hanya sesaat
Di atas pelangi berlari-lari bersama bayang
Biarkan semua itu menjadi mimpi tidur
dalam bayang pelangi bersamamu
terima kasih atas segalanya
selamat tinggal.. malaikat kecilku
Gilang..
Lereng Merbabu, 28.05.10
wish you all the best guys .
God bless you always . :D
kali ini aku mau ngepost cerpenku 2 taun kepungkur. rada gaje sih, tapi daripada nganggur di facebook tak post aja.
padahal di blog juga ga ada yang baca. #ngenes
enjoy guys..
^^
***
“AAAARRRGGGHHH !!!!”
Terdengar suara teriakan seorang wanita dari sebelah ruang kamar tidurnya. Teriakan-teriakan itu pun kembali terdengar diselingi suara tamparan dan benda-benda berjatuhan. Suara-suara seperti itu sudah tak asing lagi di telinga Dewa. Yah.. itu adalah pertengkaran antar kedua orangtuanya. Dewa yang sedari tadi hanya diam memainkan gitarnya untuk mengurangi kebisingan akibat suara-suara tersebut mulai jenuh. Jam sudah menunjukkan pukul 21.15. ia menaruh gitarnya sebelum merebahkan tubuh di atas kasur empuknya, berusaha memejamkan mata. Namun apa daya, pertengkaran di kamar sebelah mengusik tidurnya. Dengan hati tak sabar lagi, ia segera mengambil jaket, ponsel dan kunci motornya. Ia keluar dan menutup pintu kamarnya dengan dobrakan keras. Kedua orangtuanya yang mendengar suara itu pun berhenti sejenak dan melihat ke sumber suara itu. Mereka melihat Dewa keluar rumah dan melesat pergi.
Dewa dan motornya CS One, yang diberi nama Cessa, hanya berkeliling memandang warna-warni lampu kota. Keindahan kota malam itu sedikit menenangkan pikirannya. Tiba-tiba terdengar suara keroncongan dari perutnya, ia baru teringat bahwa ternyata perutnya belum terisi malam ini.
Dewa pun segera melesat mencari warung makan yang masih buka. Cukup sulit memang karena mengingat bahwa sekarang sudah menunjukkan pukul 23.45. ternyata ia sudah berputar-putar kota selama labih dari 2 jam. Tak lama kemudian ia menemukan warung nasi goreng yang masih buka di dekat sebuah SMA tempat pacarnya yang bernama Jessy bersekolah. Sembari makan, ia lalu menekan nomor telepon pacar barunya itu. Setelah mendengar nada tunggu, lalu terdengarlah suara seorang gadis di seberang sana.
“Halo..” sapa gadis itu dengan suaranya yang masih serak-serak basah karena bangun tidur.
“Halo Sayang, kamu udah bobok ya?” balas Dewa.
“Ooh.. iya nih, Yang, kenapa emangnya? Tumben jam segini telfon.”
“Aku lagi makan nasgor nih, Yang, di deket sekolah kamu.”
“Hah?? Jam segini kok keluar-keluar sih kamu? Kenapa nggak makan di rumah aja?” terdengar nada cemas dalam suara Jessy.
“Tadi juga nggak niat mau keluar , Jess, tapi di rumah berisik, jadinya aku keluar aja daripada aku budek.” Jawab Dewa menenangkan hati Jessy.
“Ooh..”
Jessy yang baru mengenal Dewa selama 8 bulan tak perlu bertanya lagi apa maksud dari pernyataan Dewa barusan, karena meski baru 8 bulan Jessy telah mengetahui keadaan keluarga Dewa yang bangkrut saat ini. Itulah yang menyebabkan pertengkaran antar kedua orangtuanya akhir-akhir ini. Mereka pun terus mengobrol hingga akhirnya harus terhenti karena Dewa selesai makan dan membayar nasi goreng tersebut. Dewa mengambil motornya lalu berpamitan pada bapak penjual nasi goreng, dan menuju sebuah taman yang tak jauh dari warung tersebut. Sesampainya di sana ia duduk di sebuah bangku panjang yang terletak mengitari kolam di pinggiran taman. Ia merogoh kantong dan mengambil ponselnya, lalu menekan kembali nomor telepon kekasihnya.
Ketika mereka asyik mengobrol tiba-tiba Dewa melihat seorang anak kecil memakai sweater kuning berlari-lari di sekitar taman. Dewa pun memanggil anak itu.
“Dek!! Sini!!” teriak Dewa melambai pada anak itu.
Di seberang teleponnya, Jessy hanya terheran mendengar teriakan Dewa.
“Kamu ngomong sama siapa, Wa?” tanya Jessy.
“Ih, Jess, ada anak kecil nih di sini. Kok bisa ya? Bentar nih bentar, anaknya udah dateng.” jawab Dewa. Anak itu pun kini sudah duduk di sebelah Dewa.
“Dek, kamu siapa? Sama siapa ke sininya?”
“Saya Gilang, Mas. Saya sering kok tidur di sini.” Jawab anak itu.
“Lho? Kok tidur sini? Emangnya orangtuamu dimana?”
“Nggak tau.” Jawab Gilang tanpa menampakkan ekspresi apapun di wajah mungilnya.
“Nggak tau? Terus kamu tinggal bareng siapa di sini?”
“Sama temen-temen, tapi kadang-kadang juga ke tempat Pakde.” Jawab Gilang sembari memainkan helm milik Dewa.
“Hah?? Pakde?? Kamu punya Pakde? Terus sekarang Pakde dimana?” tanya Dewa bertubi-tubi.
“Pakde di rumah, Mas.”
“Kok kamu nggak tidur di tempat Pakde aja?”
Hening.. gilang tak menjawab pertanyaan Dewa. Ia hanya memainkan helm Dewa, sesekali memakainya, membuka-tutup kacanya, yah.. kurang lebih seperti itulah kiranya. Dewa yang melihat keasyikan Gilang mengalihkan perhatian ke seberang teleponnya
“Jess, are you still there?”
“Oh iya, aku masih di sini kok. Tanyain Gilang dong, apa dia sekolah gitu?”
Dewa pun beraluh ke Gilang.
“Dek, kamu sekolah nggak sih?” tanya Dewa.
Gilang menggeleng.
“Terus? Nggak pernah minta sekolah gitu sama Pakde?”
“Pernah, tapi Pakde malah bilang kalau aku mending ngamen aja. Biar dapet duit buat makan, jadi nggak nyusahin Pakde lagi.
“Ya Tuhan… berarti kamu sekarang jadi pengamen dong?”
“Iya, banyak temennya kok, Mas.”
“Emangnya Pakde kerja apa dek?”
“Pakde tu polisi, Mas.”
“Hah?? Polisi??” mata Dewa terbelalak mendengar jawaban Gilang.
“Gila ya,Jess. Aku nggak nyangka GIlang setegar itu. Pakdenya kan juga polisi, tega banget dia, Jess.” kata Dewa kepada Jessy. Gilang kini tengah tertidur pulas di pangkuan Dewa. Wajahnya yang bersih tak menyiratkan beban sedikitpun. Badannya terawatt, pakaiannya pun bersih, tak disangka bahwa ia ternyata seorang pengamen yang konon identik dengan pakaian kumal dan wajah kotor. Saat tertidur wajah Gilang sangatlah tampan, Dewa pun mulai mengira-ira bahwa orangtua Gilang adalah orang kaya.
“Iya, Wa. Aku aja nggak tega banget ngebayangin Gilang kayak gitu.”
“Padahal dia lucu banget lho, Jess. Dari mukanya aja aku bias tau banget kalo sebenernya dia tu pinter.”
“Masa sih? Aku jadi pengen ketemu deh, Wa.”
“Mm.. ya besok aja, Jess. Dia tadi udah naik-naik motorku gitu, seneng banget kayanya, dan mungkin kalo aku besok dateng lagi ke sini dia inget sama aku.”
“Oke.. ntar siang dah kita ke sana.”
“Oh iya ding ntar siang. Hoooooaaamhh…..” Dewa lalu menguap sangat lebar.
“Ngantuk, Wa? Kamu pulang aja sana, kasian Mama Papa kamu kalo nyariin.”
“Biarin ah, lagian kalo aku pulang kasian ntar Gilang nyariin aku. Papa Mama juga biar nenangin diri dulu.”
“Yaudah deh terserah kamu aja.”
“Jess..”
“Hm?”
“Ternyata aku masih lebih beruntung ya? Masih punya Mama Papa, masih bias makan enak, tidur di kasur empuk yang anget lagi. Aku nggak bersyukur, Jess sama yang aku punya sekarang. Padahal aku udah gede, beda banget sama Gilang , meski dia masih kecil tapi dia nggak ngeluh, tegar, aku kira cuman di sinetron-sinetron aja orang kayak dia. Tapi ini beneran, Jess. Aku salut sama dia. Dia nggak pernah benci Pakde sama orangtua yang udah nelantarin dia gitu aja, nggak kayak aku, Jess.” Dewa menitikkan air matanya. Jessy pun demikian sambil tersenyum haru.
“Mah, Pah, Dewa minta maaf ya. Dewa nggak bermaksud buat kayak gitu semalem. Terus….” Dewa berlutut di pangkuan Mama dan Papanya setelah pagi menjelang dan ia kembali ke rumah.
“Sssstt…” Mama memotong perkataan Dewa.
“Nggak apa-apa, Sayang, Mama Papa juga minta maaf ya, gara-gara kami kamu jadi..”
“Udah, Pa, nggak usah dibahas lagi, kita mulai semuanya dari awal. Dewa juga udah bias terima kok keadaan kita sekarang. Ternyata masih ada orang yang lebih menderita daripada kita.”
Mama, Papa, dan Dewa pun kini tersenyum bahagia.
“Mana sih, Wa? Katanya dia suka ngamen di daerah sini?”
“Bentar lah tungguin aja. Es campurnya dimakan dulu gih!” balas Dewa. Sore itu Dewa dan Jessy berada di sebuah warung es campur, tempat Gilang dan teman-temannya biasa mengamen. Dewa tahu dari Gilang bahwa ia dan teman-temannya sering mengamen di sepanjang jalan tersebut, yang dipenuhi oleh berbagai warung makanan setiap sore.
“Syukuri apa yang ada..
Hidup adalah anugerah…
Tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik..
Tuhan pasti kan menunjukkan,
Kebesaran dan kuasa-Nya..
Bagi hamba-Nya yang sabar dan tak kenal putus asa..
Jangan menyerah..
jangan menyerah..
jangan menyerah..”
Sayup-sayup terdengar suara anak-anak jalanan yang sedang mengamen, suara tersebut berasal dari arah seberang tempat Dewa dan Jessy menunggu. Di kerumunan anak-anak jalanan tersebut Dewa mengenali Gilang sebagai salah satu diantaranya, senyum pun merekah di bibir Dewa. Jessy yang mendengar Dewa berteriak dan melambai pada seorang anak pun segera tahu bahwa yang dilihatnya adalah Gilang, seketika Gilang pun berlari menghampiri mereka, ia memakai jaket yang semalam dipinjamkan Dewa padanya, dengan membawa alat ngamen ‘icik-icik’ di tangan kirinya. Dengan senyum merekah ia berjalan menuju Dewa yang masih tetap melambai padanya.
“BRRRAAAAKK !!!!!!!”
“GIIIILAAAAAANG !!!!!!”
Raut muka Dewa seketika berubah tatkala mobil bak terbuka itu melaju kencang menabrak tubuh kecil yang tersenyum padanya. Tubuh kecil itu kini terkulai lemas berselimut darah. Dewa berlari menuju sosok tersebut, Jessy mengikutinya dari belakang. Dewa histeris saat wajah malaikat mungil itu berada di pangkuannya. Malaikat bersimbah darah itu Gilang. Ya itu Gilang. Bocah kecil itu kini ada di pangkuan Dewa. Matanya terpejam, darah segar mengalir di setiap lekuk tubuhnya, tangan kirinya yang memegang ‘icik-icik’ tergulai di aspal jalanan. Bibirnya tersenyum, raut wajahnya pun damai. Sama seperti 12 jam yang lalu saat Gilang tidur di pangkuannya, namun sekarang, ia tak lagi menghembuskan nafas hangatnya. Tiba-tiba gerimis pun mulai turun membasahi jalanan itu, padahal matahari masih senantiasa menampakkan kehangatan sinarnya. Tak sadar bahwa ternyata semburat warna indah pelangi melengkung di atas sana, mengiringi kepergian Gilang.
Tidak ada lagi yang dapat ku katakan
Di sini ku hadir bersama mimpi
Diam seribu kata
Meratap bayang pelangi
Saat siang terang
Ku sadar di luar sana
Hujan gerimis di siang hari
Di dalam kasih tersimpan tangis
Di dalam kepiluan ada sayang
Biarkan ku mengapai bayang pelangi
melihatnya walau hanya sesaat
Di atas pelangi berlari-lari bersama bayang
Biarkan semua itu menjadi mimpi tidur
dalam bayang pelangi bersamamu
terima kasih atas segalanya
selamat tinggal.. malaikat kecilku
Gilang..
Lereng Merbabu, 28.05.10
akhirnya, ada bahasa yg aku mengerti, wkwkwkw
BalasHapus