SELAMAT NATAAAAAALLLLLLLLLLLLLLLL !!!!!!!!
wish you all the best guys .
God bless you always . :D
kali ini aku mau ngepost cerpenku 2 taun kepungkur. rada gaje sih, tapi daripada nganggur di facebook tak post aja.
padahal di blog juga ga ada yang baca. #ngenes
enjoy guys..
^^
***
“AAAARRRGGGHHH !!!!”
Terdengar suara teriakan seorang wanita dari sebelah ruang kamar tidurnya. Teriakan-teriakan itu pun kembali terdengar diselingi suara tamparan dan benda-benda berjatuhan. Suara-suara seperti itu sudah tak asing lagi di telinga Dewa. Yah.. itu adalah pertengkaran antar kedua orangtuanya. Dewa yang sedari tadi hanya diam memainkan gitarnya untuk mengurangi kebisingan akibat suara-suara tersebut mulai jenuh. Jam sudah menunjukkan pukul 21.15. ia menaruh gitarnya sebelum merebahkan tubuh di atas kasur empuknya, berusaha memejamkan mata. Namun apa daya, pertengkaran di kamar sebelah mengusik tidurnya. Dengan hati tak sabar lagi, ia segera mengambil jaket, ponsel dan kunci motornya. Ia keluar dan menutup pintu kamarnya dengan dobrakan keras. Kedua orangtuanya yang mendengar suara itu pun berhenti sejenak dan melihat ke sumber suara itu. Mereka melihat Dewa keluar rumah dan melesat pergi.
Dewa dan motornya CS One, yang diberi nama Cessa, hanya berkeliling memandang warna-warni lampu kota. Keindahan kota malam itu sedikit menenangkan pikirannya. Tiba-tiba terdengar suara keroncongan dari perutnya, ia baru teringat bahwa ternyata perutnya belum terisi malam ini.
Dewa pun segera melesat mencari warung makan yang masih buka. Cukup sulit memang karena mengingat bahwa sekarang sudah menunjukkan pukul 23.45. ternyata ia sudah berputar-putar kota selama labih dari 2 jam. Tak lama kemudian ia menemukan warung nasi goreng yang masih buka di dekat sebuah SMA tempat pacarnya yang bernama Jessy bersekolah. Sembari makan, ia lalu menekan nomor telepon pacar barunya itu. Setelah mendengar nada tunggu, lalu terdengarlah suara seorang gadis di seberang sana.
“Halo..” sapa gadis itu dengan suaranya yang masih serak-serak basah karena bangun tidur.
“Halo Sayang, kamu udah bobok ya?” balas Dewa.
“Ooh.. iya nih, Yang, kenapa emangnya? Tumben jam segini telfon.”
“Aku lagi makan nasgor nih, Yang, di deket sekolah kamu.”
“Hah?? Jam segini kok keluar-keluar sih kamu? Kenapa nggak makan di rumah aja?” terdengar nada cemas dalam suara Jessy.
“Tadi juga nggak niat mau keluar , Jess, tapi di rumah berisik, jadinya aku keluar aja daripada aku budek.” Jawab Dewa menenangkan hati Jessy.
“Ooh..”
Jessy yang baru mengenal Dewa selama 8 bulan tak perlu bertanya lagi apa maksud dari pernyataan Dewa barusan, karena meski baru 8 bulan Jessy telah mengetahui keadaan keluarga Dewa yang bangkrut saat ini. Itulah yang menyebabkan pertengkaran antar kedua orangtuanya akhir-akhir ini. Mereka pun terus mengobrol hingga akhirnya harus terhenti karena Dewa selesai makan dan membayar nasi goreng tersebut. Dewa mengambil motornya lalu berpamitan pada bapak penjual nasi goreng, dan menuju sebuah taman yang tak jauh dari warung tersebut. Sesampainya di sana ia duduk di sebuah bangku panjang yang terletak mengitari kolam di pinggiran taman. Ia merogoh kantong dan mengambil ponselnya, lalu menekan kembali nomor telepon kekasihnya.
Ketika mereka asyik mengobrol tiba-tiba Dewa melihat seorang anak kecil memakai sweater kuning berlari-lari di sekitar taman. Dewa pun memanggil anak itu.
“Dek!! Sini!!” teriak Dewa melambai pada anak itu.
Di seberang teleponnya, Jessy hanya terheran mendengar teriakan Dewa.
“Kamu ngomong sama siapa, Wa?” tanya Jessy.
“Ih, Jess, ada anak kecil nih di sini. Kok bisa ya? Bentar nih bentar, anaknya udah dateng.” jawab Dewa. Anak itu pun kini sudah duduk di sebelah Dewa.
“Dek, kamu siapa? Sama siapa ke sininya?”
“Saya Gilang, Mas. Saya sering kok tidur di sini.” Jawab anak itu.
“Lho? Kok tidur sini? Emangnya orangtuamu dimana?”
“Nggak tau.” Jawab Gilang tanpa menampakkan ekspresi apapun di wajah mungilnya.
“Nggak tau? Terus kamu tinggal bareng siapa di sini?”
“Sama temen-temen, tapi kadang-kadang juga ke tempat Pakde.” Jawab Gilang sembari memainkan helm milik Dewa.
“Hah?? Pakde?? Kamu punya Pakde? Terus sekarang Pakde dimana?” tanya Dewa bertubi-tubi.
“Pakde di rumah, Mas.”
“Kok kamu nggak tidur di tempat Pakde aja?”
Hening.. gilang tak menjawab pertanyaan Dewa. Ia hanya memainkan helm Dewa, sesekali memakainya, membuka-tutup kacanya, yah.. kurang lebih seperti itulah kiranya. Dewa yang melihat keasyikan Gilang mengalihkan perhatian ke seberang teleponnya
“Jess, are you still there?”
“Oh iya, aku masih di sini kok. Tanyain Gilang dong, apa dia sekolah gitu?”
Dewa pun beraluh ke Gilang.
“Dek, kamu sekolah nggak sih?” tanya Dewa.
Gilang menggeleng.
“Terus? Nggak pernah minta sekolah gitu sama Pakde?”
“Pernah, tapi Pakde malah bilang kalau aku mending ngamen aja. Biar dapet duit buat makan, jadi nggak nyusahin Pakde lagi.
“Ya Tuhan… berarti kamu sekarang jadi pengamen dong?”
“Iya, banyak temennya kok, Mas.”
“Emangnya Pakde kerja apa dek?”
“Pakde tu polisi, Mas.”
“Hah?? Polisi??” mata Dewa terbelalak mendengar jawaban Gilang.
wish you all the best guys .
God bless you always . :D
kali ini aku mau ngepost cerpenku 2 taun kepungkur. rada gaje sih, tapi daripada nganggur di facebook tak post aja.
padahal di blog juga ga ada yang baca. #ngenes
enjoy guys..
^^
***
“AAAARRRGGGHHH !!!!”
Terdengar suara teriakan seorang wanita dari sebelah ruang kamar tidurnya. Teriakan-teriakan itu pun kembali terdengar diselingi suara tamparan dan benda-benda berjatuhan. Suara-suara seperti itu sudah tak asing lagi di telinga Dewa. Yah.. itu adalah pertengkaran antar kedua orangtuanya. Dewa yang sedari tadi hanya diam memainkan gitarnya untuk mengurangi kebisingan akibat suara-suara tersebut mulai jenuh. Jam sudah menunjukkan pukul 21.15. ia menaruh gitarnya sebelum merebahkan tubuh di atas kasur empuknya, berusaha memejamkan mata. Namun apa daya, pertengkaran di kamar sebelah mengusik tidurnya. Dengan hati tak sabar lagi, ia segera mengambil jaket, ponsel dan kunci motornya. Ia keluar dan menutup pintu kamarnya dengan dobrakan keras. Kedua orangtuanya yang mendengar suara itu pun berhenti sejenak dan melihat ke sumber suara itu. Mereka melihat Dewa keluar rumah dan melesat pergi.
Dewa dan motornya CS One, yang diberi nama Cessa, hanya berkeliling memandang warna-warni lampu kota. Keindahan kota malam itu sedikit menenangkan pikirannya. Tiba-tiba terdengar suara keroncongan dari perutnya, ia baru teringat bahwa ternyata perutnya belum terisi malam ini.
Dewa pun segera melesat mencari warung makan yang masih buka. Cukup sulit memang karena mengingat bahwa sekarang sudah menunjukkan pukul 23.45. ternyata ia sudah berputar-putar kota selama labih dari 2 jam. Tak lama kemudian ia menemukan warung nasi goreng yang masih buka di dekat sebuah SMA tempat pacarnya yang bernama Jessy bersekolah. Sembari makan, ia lalu menekan nomor telepon pacar barunya itu. Setelah mendengar nada tunggu, lalu terdengarlah suara seorang gadis di seberang sana.
“Halo..” sapa gadis itu dengan suaranya yang masih serak-serak basah karena bangun tidur.
“Halo Sayang, kamu udah bobok ya?” balas Dewa.
“Ooh.. iya nih, Yang, kenapa emangnya? Tumben jam segini telfon.”
“Aku lagi makan nasgor nih, Yang, di deket sekolah kamu.”
“Hah?? Jam segini kok keluar-keluar sih kamu? Kenapa nggak makan di rumah aja?” terdengar nada cemas dalam suara Jessy.
“Tadi juga nggak niat mau keluar , Jess, tapi di rumah berisik, jadinya aku keluar aja daripada aku budek.” Jawab Dewa menenangkan hati Jessy.
“Ooh..”
Jessy yang baru mengenal Dewa selama 8 bulan tak perlu bertanya lagi apa maksud dari pernyataan Dewa barusan, karena meski baru 8 bulan Jessy telah mengetahui keadaan keluarga Dewa yang bangkrut saat ini. Itulah yang menyebabkan pertengkaran antar kedua orangtuanya akhir-akhir ini. Mereka pun terus mengobrol hingga akhirnya harus terhenti karena Dewa selesai makan dan membayar nasi goreng tersebut. Dewa mengambil motornya lalu berpamitan pada bapak penjual nasi goreng, dan menuju sebuah taman yang tak jauh dari warung tersebut. Sesampainya di sana ia duduk di sebuah bangku panjang yang terletak mengitari kolam di pinggiran taman. Ia merogoh kantong dan mengambil ponselnya, lalu menekan kembali nomor telepon kekasihnya.
Ketika mereka asyik mengobrol tiba-tiba Dewa melihat seorang anak kecil memakai sweater kuning berlari-lari di sekitar taman. Dewa pun memanggil anak itu.
“Dek!! Sini!!” teriak Dewa melambai pada anak itu.
Di seberang teleponnya, Jessy hanya terheran mendengar teriakan Dewa.
“Kamu ngomong sama siapa, Wa?” tanya Jessy.
“Ih, Jess, ada anak kecil nih di sini. Kok bisa ya? Bentar nih bentar, anaknya udah dateng.” jawab Dewa. Anak itu pun kini sudah duduk di sebelah Dewa.
“Dek, kamu siapa? Sama siapa ke sininya?”
“Saya Gilang, Mas. Saya sering kok tidur di sini.” Jawab anak itu.
“Lho? Kok tidur sini? Emangnya orangtuamu dimana?”
“Nggak tau.” Jawab Gilang tanpa menampakkan ekspresi apapun di wajah mungilnya.
“Nggak tau? Terus kamu tinggal bareng siapa di sini?”
“Sama temen-temen, tapi kadang-kadang juga ke tempat Pakde.” Jawab Gilang sembari memainkan helm milik Dewa.
“Hah?? Pakde?? Kamu punya Pakde? Terus sekarang Pakde dimana?” tanya Dewa bertubi-tubi.
“Pakde di rumah, Mas.”
“Kok kamu nggak tidur di tempat Pakde aja?”
Hening.. gilang tak menjawab pertanyaan Dewa. Ia hanya memainkan helm Dewa, sesekali memakainya, membuka-tutup kacanya, yah.. kurang lebih seperti itulah kiranya. Dewa yang melihat keasyikan Gilang mengalihkan perhatian ke seberang teleponnya
“Jess, are you still there?”
“Oh iya, aku masih di sini kok. Tanyain Gilang dong, apa dia sekolah gitu?”
Dewa pun beraluh ke Gilang.
“Dek, kamu sekolah nggak sih?” tanya Dewa.
Gilang menggeleng.
“Terus? Nggak pernah minta sekolah gitu sama Pakde?”
“Pernah, tapi Pakde malah bilang kalau aku mending ngamen aja. Biar dapet duit buat makan, jadi nggak nyusahin Pakde lagi.
“Ya Tuhan… berarti kamu sekarang jadi pengamen dong?”
“Iya, banyak temennya kok, Mas.”
“Emangnya Pakde kerja apa dek?”
“Pakde tu polisi, Mas.”
“Hah?? Polisi??” mata Dewa terbelalak mendengar jawaban Gilang.